Senin, 23 Mei 2011

Tugas Softskill Minggu 4

1. Contoh Sertifikasi Nasional dan Internasional


Contoh Sertifikasi Nasional dan Internasional untuk Profesi Insinyur

Menjadi insinyur membutuhkan proses yang sulit. Gelar insinyur tidak sembarangan diberikan kepada seseorang, butuh prosedur khusus dan persyaratan untuk mendapatkan lisensi, piagam atau dari instansi pemerintahan. Berikut ini merupakan contoh sertifikasi profesi insinyur baik nasional maupun internasional

a. Sertifikasi Profesi Insinyur Internasional

Status profesional didefinisikan secara hukum dan dilindungi oleh sebuah badan pemerintah. Di beberapa wilayah hukum hanya terdaftar atau insinyur lisensi diizinkan untuk menggunakan gelar insinyur atau praktek rekayasa profesional. Yang membedakan seorang insinyur profesional berlisensi adalah kewenangan untuk mengambil tanggung jawab hukum untuk pekerjaan engineering. Sebagai contoh, seorang insinyur berlisensi mungkin bertanda, bercap atau berstempel dokumentasi teknis seperti laporan, gambar, dan perhitungan, perkiraan desain studi, atau analisis.

Contoh Sertifikasi Insinyur di Kanada

Di kanada gelar Professional Engineering hanya dapat digunakan oleh para insinyur berlisensi dan dilindungi dalam hukum di semua propinsi. Perijinan insinyur dilakukan melalui badan hukum yang berkuasa, seperti Profesional Engineering Ontario. Banyak dari asosiasi ini yang bertanggung jawab untuk mengatur profesi terkait. Proses pendaftaran umunya sebagai berikut:

  • Lulus dengan gelar dari program terakreditasi di teknik atau ilmu terapann, terakreditasi oleh Badan Akreditasi Kanada Engineering (CEAB).
  • menyelesaikan Engineer dalam Pelatihan atau ” Magang” program di bawah arahan dari P. Eng. (Ini adalah program empat tahun minimal dengan pengecualian Quebec
  • Review pengalaman kerja oleh Asosiasi,
  • Pass Profesional Praktek Ujian (isi dan format yang berbeda menurut provinsi).

Insinyur yang tidak berlisensi akan medapatkan sangsi hukun sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Misalnya Ontario: Insinyur Profesional UU RRO 1990, Peraturan 941) dari berlatih di luar pelatihan dan pengalaman mereka.

b. Sertifikasi Profesi Insinyur Nasional

Persatuan Insinyur Indonesia merupakan salah satu organisasi profesi yang mendapat tempat yang terhormat dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat ilmu pengetahuan dan teknologi pada khususnya. Citra ini terbentuk sebagai hasil jerih payah perjuangan tak kenal lelah yang dilakukan oleh Pengurus PII terdahulu. Dalam rangka memenuhi tujuan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar PII, citra tersebut perlu ditingkatkan agar selanjutnya PII menjadi sebuah organisasi profesi yang :

  • Mampu memberikan pelayanan yang bermanfaat bagi para anggota.
  • Mampu melakukan pembinaan kemampuan profesional bagi para anggotanya sehingga setara dengan para Insinyur di negara lain.
  • Mampu memperjuangkan aspirasi dan melindungi kepentingan insinyur Indonesia sehingga hak dan kewajiban profesionalnya dapat terpenuhi dalam rangka berperan serta secara aktif dalam Pembangunan Nasional.

Salah satu program utama Pengurus Pusat PII adalah melaksanakan Program Sertifikasi Insinyur Profesional Indonesia. Program ini merupakan langkah strategis PII untuk lebih mengedepankan pembinaan kemampuan profesional anggota dalam memasuki era persaingan globalisasi.

Pada dasarnya Sistem Sertifikasi ini merupakan pengakuan resmi atas kompetensi keprofesionalan seorang insinyur, yang sudah menempuh pendidikan sarjana teknik atau pertanian, serta sudah mengumpulkan pengalaman kerja yang cukup dalam bidang keinsinyuran yang ditekuninya. Dengan demikian masyarakat konsumen memperoleh perlindungan karena mereka yang sudah memperoleh sertifikat Insinyur Profesional adalah yang kompetensinya sudah benar-benar terbukti berdasarkan bakuan yang mengacu pada kaidah-kaidah internasional.

Sertifikat Insinyur Profesional diberikan dalam tiga jenis, yang sekaligus juga menunjukkan jenjang kompetensi yang dimilikinya.

Yang paling awal adalah Insinyur Profesional Pratama, yaitu para insinyur yang sudah bekerja lebih dari tiga tahun sejak mencapai gelar kesarjanaannya dan sudah mampu membuktikan kompetensi keprofesionalannya.

Yang kedua adalah Insinyur Profesional Madya, yaitu para pemegang sertifikat Insinyur Profesional Pratama yang sudah bekerja dan membuktikan kompetensinya selama paling sedikit lima tahun setelah ia memperoleh sertifikat Insinyur Profesional Pratama.

Yang terakhir adalah Insinyur Profesional Utama, yaitu para pemegang sertifikat Insinyur Profesional Madya yang telah bekerja dan membuktikan kompetensinya selama paling sedikit delapan tahun setelah ia memperoleh sertifikat Insinyur Profesional Madya, serta mempunyai reputasi keprofesionalan secara nasional.

Contoh untuk Nasional adalah BNSP, yang merupakan singkatan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi adalah sebuah lembaga independen yang di bentuk pemerintah berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Badan ini bekerja untuk menjamin mutu kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi di Indonesia melalui proses sertifikasi.

Contoh untuk Internasional, Peraturan profesi engineering yaitu dibentuk oleh berbagai yurisdiksi dunia untuk melindungi keselamatan, kesejahteraan dan kepentingan lain dari masyarakat umum, dan untuk menetapkan lisensi yang digunakan seorang insinyur untuk mempunyai wewenang yang digunakan untuk memberikan layanan profesional kepada masyarakat. Status profesional dan praktek aktual dari rekayasa profesional didefinisikan secara hukum dan dilindungi oleh sebuah badan pemerintah. Ciri – ciri lain dari seorang insinyur professional berlisensi adalah memiliki otoritas pertanggung jawaban untuk pekerja insinyur engineer. Contohnya insinyur yang berlisensi dapat menandatangani, atau memberikan ijin dari dokumen – dokumen teknis penting seperti laporan, gambar, perhitungan untuk sebuah study, perhitungan detail, desain perkiraan, dan analisa.

SUMBER:

http://en.wikipedia.org/wiki/Regulation_and_licensure_in_engineering

http://www.jurnalinsinyurmesin.com/index.php?option=com_content&view=article&id=29&Itemid=3



2. LEMBAGA YANG MELAKUKAN SERTIFIKASI DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI

Persaingan kompetensi sumber daya manusia di era globalisasi semakin tajam menyebabkan perlunya peningkatan kemampuan sumber daya manusia setempat yang diakui memiliki kompetensi di bidangnya masing masing untuk menghindari marginalisasi tenaga kerja lokal.
Mengantisipasi hal tersebut maka dibentuklah suatu lembaga-lembaga yang menangani urusan sertifikasi profesi (khususnya di bidang IT). Lembaga-lembaga apa saja itu ?? Simak penjelasannya dibawah ini :

LSP-Telematika

LSP Telematika dibentuk oleh pemerintah dan setelah terbentuk harus dilaksanakan oleh komunitas Telematika dan bersifat independen. Bertugas menyelenggarakan standarisasi kompetensi kerja, menyiapkan materi uji serta mengakreditasi unit-unit Tempat Uji Kompetensi dan menerbitkan Sertifikasi Kompetensi bidang Telematika.

Keuntungan Sertifikasi di LSP-Telematika

LSP Telematika merupakan lembaga yang bersifat independen dan profesional dalam menyelenggarakan standarisasi, uji kompetensi dan sertifikasi bagi para profesional di bidang telematika. Dalam perkembangannya, LSP Telematika menjadi rujukan profesionalisme bagi industri telematika di dalam dan luar negeri. Sertifikat yang dikeluarkan LSP Telematika merupakan bukti pengakuan atas kompetensi seseorang setelah melakukan uji kompetensi.

Materi uji kompetensi LSP Telematika disusun berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang sudah disahkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyusun SKKNI merupakan ahli telematika yang berasal dari Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Pendidikan, Kementrian Ristek dan beberapa perusahaan TI di Indonesia.

Dalam penyelenggaraan uji kompetensi, LSP Telematika menggunakan test engine dengan software yang integritasnya tidak diragukan lagi. LSP Telematika merupakan pemegang lisensi Automated Testing Software (ATS) di Indonesia. Ujian diselenggarakan dengan berbasis komputer yakni suatu tes yang dipandu dan dikerjakan melalui media komputer termasuk penilaiannya.

LSP-TIK

Lembaga Sertifikasi Profesi Teknologi Informasi dan Telekomunikasi Indonesia (LSP TIK) didirikan pada tanggal 1 Mei 2007, dengan tujuan untuk memenuhi tersedianya pengakuan tenaga yang kompeten di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi.

Perkembangan teknologi informasi yang cepat dan dengan adanya kebutuhan tenaga kerja profesional maka dibutuhkan pengakuan kompetensi para tenaga profesional baik nasional ataupun internasional. Pengakuan tersebut bisa diperoleh jika telah dinyatakan kompeten dalam bidang informasi dan komunikasi oleh sebuah lembaga yang mendapatkan lisensi dari BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).

LSP TIK merupakan lembaga yang telah memiliki lisensi dari BNSP (Keputusan Badan Nasional Sertifikasi Profesi nomor 19/BNSP/VII/2007) untuk melakukan proses pembuktian bahwa seorang tenaga yang profesional benar-benar kompeten dalam bidang kompetensinya. Sehingga tenaga professional tersebut mendapatkan pengakuan Kompetensi profesi yang dimilikinya baik secara Nasional ataupun Internasional.

Pembuktian kompetensi yang dilakukan oleh LSP TIK berdasarkan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan rumusan kemampuan profesi seseorang yang mencakup seluruh aspek yang diperlukan untuk menentukan kompetensi seseorang, misalnya pengetahuan, ketrampilan, keahlian, dan sikap. Seseorang yang sudah dinyatakan kompeten harus member laporan kepada LSP TIK minimal satu tahun satu kali, sehingga kompetensi pada profesionalismenya tetap tercatat dan diakui oleh LSP TIK maupun BNSP.

Untuk memenuhi tersedianya pengakuan tenaga yang kompeten di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi baik secara Nasional dan Internasional maka LSP TIK juga beracuan pada standar Internasional, dengan adanya dukungan Standar kompetensi Internasianal dari Microsoft, Adobe, dan Oracle.

Dengan usia yang masih hampir dua tahun LSP TIK sudah bisa menunjukkan kompetensinya sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi yang bisa dipercaya oleh profesionalisme Teknologi Informasi dan Telekomunikasi baik dari Lembaga Pemerintahan, Lembaga Swasta ataupun perseorangan yang bergelut dan berprofesi di bidang Teknologi Informasi dan Telekomuniasi. LSP TIK sudah melakukan pembuktian kompetensi nasional seperti di beberapa lembaga pemerintahan (Solo, Jogja, Cirebon), BUMN (PT.INTI, PLN), perusahaan Swasta, bahkan para profesional di bidang Informasi dan Komunikasi yang secara pribadi sadar akan pentingnya kemampuan pengakuan Kompetensi profesi dari LSP TIK.

Dalam pembuktian kompetensi, LSP TIK membagi menjadi beberapa profesi yang secara umum adalah :

1. Kompetensi profesi Programming .

2. Kompetensi profesi Networking.

3. Kompetensi profesi Aplikasi Perkantoran.

4. Kompetensi profesi Desain Grafis.

5. Kompetensi profesi Multimedia.




3. Prosedur dan Persyaratan untuk mengambil ujian sertifikat untuk setiap jenis profesi



Untuk ambil ujian sertifikasi ada beberapa prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu, baik itu lembaga yang memberikan sertifikasi, personel yang dikontrak oleh lembaga sertifikasi dan calon yang ingin mendapatkan sertifikasi profesi (dibidang IT). Dibawah ini penulis akan memberikan gambaran prosedur dan persyaratan apa saja yang harus dilakukan untuk mengambil sertifikasi (untuk profesi IT).


1. Persyaratan untuk LSP

1.1 Lembaga sertifikasi

1.1.1 Kebijakan, prosedur, dan administrasi lembaga sertifikasi harus terkait dengan kriteria sertifikasi, harus jujur dan wajar terhadap seluruh calon dan harus memenuhi semua persyaratan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. LSP tidak boleh menggunakan prosedur yang menghambat dan menghalangi akses oleh pemohon dan calon, kecuali yang ditetapkan dalam pedoman ini.

1.1.2 LSP harus menetapkan kebijakan dan prosedur untuk pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan atau pencabutan sertifikasi serta perluasan/pengurangan ruang lingkup sertifikasi yang diajukan.

1.1.3 LSP harus membatasi persyaratan, evaluasi dan keputusan sertifikasinya, sesuai dengan hal-hal spesifik yang berkaitan dengan ruang lingkup sertifikasi.


1.2 Struktur organisasi

1.2.1 Struktur LSP harus dibentuk sedemikian rupa sehingga memberikan kepercayaan kepada pihak terkait atas kompetensi, ketidakberpihakan dan integritasnya. Secara khusus, lembaga sertifikasi harus :

a) independen dan tidak memihak dalam kaitannya dengan pemohon, calon dan profesi yang disertifikasi, termasuk dengan pemiliki dan pelanggannya dan harus mengambil langkah yang dapat menjamin operasi yang layak;
b) bertanggung jawab atas keputusannya berkaitan dengan pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan dan pencabutan sertifikasi serta perluasan/pengurangan ruang lingkup yang diajukan.
c) mengidentifikasi manajemen (kelompok atau profesi) yang memiliki tanggung jawab menyeluruh untuk:

1) evaluasi, sertifikasi dan survailen sebagaimana ditetapkan dalam pedoman ini, dalam persyaratan kompetensi dan dalam dokumen relevan lain yang berlaku.
2) perumusan kebijakan operasi LSP, yang berkaitan dengan sertifikasi profesi.
3) keputusan sertifikasi,
4) penerapan kebijakan dan prosedurnya
5) keuangan lembaga sertifikasi, dan
6) pendelegasian kewenangan kepada beberapa komite atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditetapkan atas namanya.

d) memiliki dokumen legalitas hukum atau bagian dari legalitas hukum

1.2.2 LSP harus memiliki struktur terdokumentasi yang menjaga ketidakberpihakan termasuk ketentuan yang menjamin ketidakberpihakan pengoperasian LSP. Struktur ini harus melibatkan partisipasi semua pihak penting yang terkait dalam pengembangan kebijakan dan prinsip-prinsip tentang substansi dan fungsi sistem sertifikasi, tanpa adanya pihak yang mendominasi.

1.2.3 LSP harus membentuk komite skema atau nama lain, yang harus bertanggung jawab dalam pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi untuk setiap jenis sertifikasi yang dipertimbangkan. Komite skema harus diwakili oleh pihak penting terkait secara seimbang (tanpa ada pihak yang lebih mendominasi). Jika ada skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi selain lembaga sertifikasi, maka pengembangan skema tersebut harus mengikuti prinsip-prinsip yang sama.

1.2.4 LSP harus:

a) memiliki sumber keuangan yang diperlukan untuk operasi sistem sertifikasi dan untuk membiayai pertanggunggugatan (liability) yang mungkin timbul.
b) memiliki kebijakan dan prosedur yang membedakan antara sertifikasi profesi dan kegiatan lainnya,
c) menjamin bahwa kegiatan lembaga yang terkait tidak mengkompromikan kerahasiaan objektivitas dan ketidakberpihakan dari sertifikasinya.

1.2.5 LSP tidak boleh menawarkan atau memberikan pelatihan atau membantu pihak lain dalam penyiapan jasa tersebut.

1.2.6 LSP harus menetapkan kebijakan dan prosedur (seperti pedoman pelaksanaan) untuk penyelesaian banding dan keluhan yang diterima dari pemohon, calon, profesi yang disertifikasi dan atasan/institusi tempat profesi yang disertifikasi bekerja serta dari pihak lain mengenai proses kriteria sertifikasi, termasuk kebijakan dan prosedur untuk kinerja profesi yang disertifikasi. Kebijakan dan prosedur tersebut harus menjamin bahwa
banding dan keluhan diselesaikan secara independen, tegas dan tidak berpihak.

1.2.7 LSP harus memperkerjakan personil permanen atau personil kontrak dalam jumlah yang memadai dengan pendidikan, pelatihan, pengetahuan teknis dan pengalaman yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi sertifikasi sesuai dengan jenis, rentang dan volume pekerjaan yang dilakukan di bawah tanggung jawab manajemen.

1.3 Pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi

1.3.1 LSP harus menetapkan metode dan mekanisme untuk digunakan dalam mengevaluasi kompetensi calon dan harus menetapkan kebijakan dan prosedur yang sesuai untuk pengembangan awal dan pemeliharaan berkelanjutan dari metode dan mekanisme tersebut. CATATAN lampiran A memberikan panduan untuk pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi.

1.3.2 LSP harus menetapkan suatu proses pengembangan dan pemeliharaan skema sertifikasi yang mencakup kaji ulang dan validasi skema yang dilakukan oleh komite skema.

1.3.3 LSP harus segera memberikan informasi mengenai setiap perubahan di dalam persyaratan kepada wakil-wakil komite. LSP harus mempertimbangkan pendapat yang disampaikan oleh komite skema sebelum memutuskan bentuk perubahan yang tepat dan tanggal efektif berlakunya perubahan. Setelah pengambilan keputusan dan publikasi mengenai perubahan persyaratan, LSP harus memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terkait dan profesi yang disertifikasi. LSP harus memverifikasi bahwa setiap profesi yang disertifikasi memenuhi persyaratan yang diubah dalam periode waktu, yang penetapannya harus mempertimbangkan pendapat komite skema.

1.3.4 Kriteria kompetensi profesi yang dievaluasi harus ditetapkan oleh LSP sesuai dengan pedoman ini dan dokumen relevan lainnya. Jika diperlukan penjelasan untuk penerapan dokumen tersebut terhadap skema sertifikasi yang spesifik, maka penjelasan tersebut harus dirumuskan oleh para ahli, disahkan oleh komite skema dan dipublikasikan oleh lembaga sertifikasi.

1.3.5 Sertifikasi tidak boleh dibatasi atas dasar keuangan atau kondisi lain yang tidak semestinya, seperti keanggotaan dalam asosiasi atau kelompok. Sertifikat kelulusan suatu lembaga pelatihan yang diakui dapat menjadi persyaratan skema sertifikasi. Pengakuan atau persetujuan tersebut oleh LSP, tidak boleh dilakukan dengan mengkompromikan ketidakberpihakan atau mengurangi bobot persyaratan evaluasi dan sertifikasi.

1.3.6 LSP harus mengevaluasi metode ujian calon. Penyelenggaraan ujian harus jujur, absah dan dapat dipertanggungjawabkan. Minimum 1 tahun sekali, metodologi dan prosedur yang tepat (seperti pengumpulan dan pemeliharaan data statistik) harus ditetapkan untuk menegaskan kembali kejujuran, keabsahan, kepercayaan dan kinerja umum setiap ujian dan semua perbaikan perbedaan yang teridentifikasi.

1.4 Sistem manajemen

1.4.1 LSP harus menggunakan sistem manajemen yang didokumentasikan dan mencakup semua persyaratan pedoman ini serta menjamin efektifitas penerapan persyaratan tersebut.

1.4.2 LSP harus menjamin bahwa:

a) sistem manajemen ditetapkan dan dipelihara sesuai dengan pedoman ini, dan
b) sistem manajemennya dimengerti dan diterapkan pada semua tingkat organisasi.

1.4.3 LSP harus mempunyai sistem pengendalian dokumen dan audit internal serta kaji ulang manajemen yang sudah diterapkan termasuk ketentuan untuk perbaikan berkelanjutan, tindakan koreksi dan pencegahan.

1.5 Subkontrak

1.5.1 Jika LSP memutuskan untuk mensubkontrakkan pekerjaan yang berkaitan dengan asesmen kepada asesor subkontrak, maka perjanjian terdokumentasi yang mencakup pengaturan, termasuk kerahasiaan dan pencegahan konflik kepentingan harus dituliskan. Keputusan sertifikat tidak boleh disubkontrakkan.

1.5.2 LSP harus:

a) bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan yang disubkontrakkan dan tetap bertanggung jawab atas pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, perluasan dan pengurangan ruang lingkup, penundaan atau pencabutan sertifikasi.
b) menjamin bahwa subkontraktor tersebut kompeten dan memenuhi ketentuan yang berlaku dalam pedoman ini, dan tidak terlibat baik secara langsung atau melalui atasannya dengan pelatihan atau pemeliharaan sertifikasi personel sedemikian rupa sehingga kerahasiaan dan kenetralan dapat dikompromikan.
c) memelihara daftar subkontraknya dan menilai serta memantau kinerjanya sesuai prosedur yang didokumentasikan.

1.6 Rekaman

1.6.1 LSP harus memelihara sistem rekaman sesuai dengan kondisi dan peraturan perundang-undangan, termasuk cara-cara untuk mengkonfirmasikan status profesi yang disertifikasi. Rekaman harus membuktikan bahwa proses sertifikasi telah dipenuhi secara efektif, khususnya yang berkaitan dengan formulir permohonan, laporan evaluasi, kegiatan survailen, dan dokumen lain yang terkait dengan pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, perluasan, pengurangan, penundaan dan pencabutan sertifikasi.

1.6.2 Rekaman harus diidentifikasi, diatur dan dimusnahkan dengan cara yang sesuai untuk menjamin integritas proses dan kerahasiaan informasi tersebut. Rekaman harus disimpan selama periode waktu tertentu untuk memberikan jaminan kepercayaan berkelanjutan, minimal satu siklus sertifikasi penuh, atau sebagaimana yang dipersyaratkan dalam perjanjian pengakuan, kontrak, hukum dan kewajiban lainnya.

1.7 Kerahasiaan

LSP harus menjaga kerahasiaan semua informasi yang diperoleh selama proses kegiatannya, melalui komitmen terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Komitmen tersebut harus dilaksanakan oleh semua individu/personil yang bekerja di lembaga sertifikasi, termasuk anggota komite dan lembaga atau individu dari luar yang bekerja atas namanya. Informasi tersebut tidak boleh diberikan kepada pihak yang tidak berwenang tanpa persetujuan tertulis dari organisasi atau individu dari mana informasi diperoleh, kecuali bila perundang-undangan mensyaratkan informasi tersebut harus diungkapkan. Bila lembaga sertifikasi disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengumumkan informasi tersebut, organisasi atau individu yang bersangkutan harus diberitahu sebelumnya tentang informasi yang diberikan.

1.8 Keamanan

Seluruh soal-soal ujian dan bahan-bahan yang terkait harus dipelihara dalam suatu lingkungan yang aman oleh LSP, atau subkontraktornya untuk melindungi kerahasiaan bahan-bahan tersebut selama masa pakainya.


2. Persyaratan untuk personil permanen atau yang dikontrak oleh lembaga sertifikasi

2.1 Umum

2.1.1 LSP harus menetapkan persyaratan kompetensi bagi personil permanen atau yang dikontrak yang terlibat dalam proses sertifikasi.

2.1.2 LSP mewajibkan personil permanen atau yang dikontrak untuk menandatangai dokumen yang menyatakan komitmennya untuk memenuhi peraturan yang ditetapkan oleh lembaga sertifikasi, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kerahasiaan dan kebebasan dari pengaruh komersial dan pengaruh lainnya dari setiap hubungan sebelum dan/atau saat ini dengan profesi yang diuji yang dapat mengkompromikan kenetralannya.

2.1.3 Uraian tugas dan tanggung jawab yang terdokumentasi dengan jelas harus tersedia bagi setiap Profesi permanen atau yang dikontrak. Mereka harus dilatih sesuai dengan bidang tugasnya, sehingga yang bersangkutan menyadari pentingnya sertifikasi yang ditawarkan. Semua personil yang terlibat dalam setiap aspek kegiatan sertifikasi harus memiliki kualifikasi pendidikan, pengalaman dan keahlian teknis yang sesuai dengan kriteria kompetensi untuk tugas yang ditetapkan.

2.1.4 LSP harus membuat dan memelihara dokumentasi mutakhir mengenai kualifikasi setiap personil. Informasi tersebut harus mudah diakses oleh personil permanen atau yang dikontrak dan harus mencakup:

a) nama dan alamat;
b) organisasi dan jabatannya;
c) pendidikan, jenis dan status personil;
d) pengalaman dan pelatihan yang relevan dengan bidang tugasnya;
e) tanggung jawab dan kewajibannya dalam lembaga sertifikasi;
f) penilaian kinerja;
g) tanggal pemuktakhiran rekaman
h) tanggal pemutakhiran rekaman

2.2 Persyaratan Asesor Kompetensi

2.2.1 Asesor kompetensi harus memenuhi persyaratan LSP berdasarkan persyaratan kompetensi yang berlaku dan dokumen relevan lainnya. Dalam proses pemilihan asesor yang ditugaskan untuk suatu ujian atau bagian dari suatu ujian harus dijamin bahwa asesor kompetensi tersebut minimal:

a) mengerti skema sertifikasi yang relevan;
b) memiliki pengetahuan yang cukup mengenai metode ujian dan dokumen ujian yang relevan;
c) memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang yang akan diuji;
d) mampu berkomunikasi dengan efektif baik secara lisan maupun tulisan dalam bahasa yang digunakan dalam ujian, dan
e) bebas dari kepentingan apapun sehingga dapat melakukan penilaian (asesmen) dengan tidak memihak dan tidak diskriminatif.

2.2.2 Jika seseorang asesor kompetensi mempunyai potensi konflik kepentingan dalam ujian dengan calon, LSP harus mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa kerahasiaan dan kenetralan ujian tidak dikompromikan (lihat 1.2.5). Langkah-langkah tersebut harus direkam.

3. Proses sertifikasi

3.1 Permohonan

3.1.1 Berdasarkan permintaan pemohon, LSP harus memberikan uraian rinci yang mutakhir mengenai proses sertifikasi untuk setiap skema sertifikasi yang sesuai (termasuk biaya). Di samping itu LSP memberikan dokumen yang memuat persyaratan sertifikasi, hak pemohon, serta kewajiban profesi yang disertifikasi termasuk kode etik profesi (lihat 3.6.2).

3.1.2 LSP harus mensyaratkan kelengkapan permohonan, yang ditandatangi oleh pemohon yang meminta sertifikasi dan mencakup:

a) lingkup sertifikasi yang diajukan;
b) pernyataan bahwa profesi yang bersangkutan setuju memenuhi persyaratan sertifikasi dan memberikan setiap informasi yang diperlukan untuk evaluasi;
c) rincian kualifikasi yang relevan didukung dengan bukti dan rekomendasi;
d) informasi umum pemohon, seperti nama, alamat dan informasi lain yang disyaratkan untuk identifikasi Profesi.

3.2 Evaluasi

3.2.1 LSP harus mengkaji ulang permohonan sertifikasi untuk menjamin bahwa:

a) LSP mempunyai kemampuan untuk memberikan sertifikasi sesuai ruang lingkup yang diajukan;
b) LSP menyadari kemungkinan adanya kekhususan kondisi pemohon dan dengan alasan yang tepat dapat mengakomodasikan keperluan khusus pemohon seperti bahasa dan/atau ketidakmampuan (disabilities) lainnya;
c) pemohon mempunyai pendidikan, pengalaman dan pelatihan yang disyaratkan dalam skema.

3.2.2 LSP harus menguji kompetensi profesi berdasarkan persyaratan skema melalui satu atau lebih metode seperti tertulis, lisan, praktek, pengamatan atau cara lain.

3.2.3 Ujian harus direncanakan dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bahwa semua persyaratan skema diverifikasi secara objektif dan sistematis dengan bukti terdokumentasi sehingga memadai untuk menegaskan kompetensi calon.

3.2.4 LSP harus membuat prosedur pelaporan yang menjamin kinerja dan hasil evaluasi termasuk kinerja dan hasil ujian, yang didokumentasikan secara tepat dan dimengerti.

3.3 Keputusan sertifikasi

3.3.1 Keputusan sertifikasi yang ditetapkan untuk seorang calon oleh LSP harus berdasarkan informasi yang dikumpulkan selama proses sertifikasi. Personel yang membuat keputusan sertifikasi tidak boleh berperan serta dalam pelaksanaan ujian atau pelatihan calon.

3.3.2 LSP harus memberikan sertifikasi kepada semua Profesi yang disertifikasi. LSP harus memelihara kepemilikan sertifikat. Sertifikat tersebut dapat dalam bentuk surat, kartu atau media lainnya, yang ditandatangi atau disahkan oleh Personel LSP yang bertanggung jawab.

3.3.3 Sertifikat tersebut minimal harus memuat informasi berikut:

a) nama Personel yang disertifikasi dan nomor sertifikat;
b) nama lembaga sertifikasi;
c) acuan persyaratan kompetensi atau dokumen relevan lain, termasuk hal-hal yang menjadi dasar dalam sertifikasi;
d) ruang lingkup sertifikasi termasuk batasannya;
e) tanggal efektif sertifikasi dan masa berlaku;

3.4 Survailen

3.4.1 LSP harus menetapkan proses survailen untuk memantau pemenuhan profesi yang disertifikasi dengan persyaratan skema sertifikasi yang relevan.

3.4.2 LSP harus memiliki prosedur dan aturan untuk pemeliharaan sertifikasi sesuai dengan skema sertifikasi. Aturan tersebut termasuk frekuensi dan cakupan kegiatan survailen harus disahkan oleh komite skema. Aturan tersebut harus cukup menjamin adanya evaluasi yang jujur untuk mengkonfirmasikan kompetensi Personel yang disertifikasi.

3.5 Sertifikasi ulang

3.5.1 LSP harus menetapkan persyaratan sertifikasi ulang sesuai dengan persyaratan kompetensi dan dokumen relevan lain untuk menjamin bahwa profesi yang disertifikasi selalu memenuhi sertifikasi yang mutakhir.

3.5.2 LSP harus memiliki prosedur dan aturan untuk pemeliharaan sertifikat sesuai dengan skema sertifikasi. Aturan tersebut termasuk frekuensi dan cakupan kegiatan sertifikasi ulang harus disahkan oleh komite skema. Aturan tersebut harus cukup menjamin adanya evaluasi yang jujur untuk mengkonfirmasikan kompetensi profesi yang disertifikasi.

3.6 Penggunaan sertifikat

3.6.1 LSP harus mensyaratkan bahwa profesi yang disertifikasi menandatangani persetujuan untuk:

a) memenuhi ketentuan skema sertifikasi yang relevan;
b) menyatakan bahwa sertifikasinya hanya berlaku untuk ruang lingkup sertifikasi yang diberikan;
c) tidak menyalahgunakan sertifikasi yang dapat merugikan LSP dan tidak memberikan persyaratan yang berkaitan dengan sertifikasi yang menurut LSP dianggap dapat menyesatkan atau tidak sah;
d) menghentikan penggunaan semua pernyataan yang berhubungan dengan sertifikasi yang memuat acuan LSP setelah dibekukan atau dicabut sertifikasinya serta mengembalikan sertifikat kepada LSP yang menerbitkannya, dan
e) tidak menyalahgunakan sertifikat.

3.6.2 Acuan sertifikasi yang tidak sesuai atau penyalahgunaan sertifikat dalam publikasi, katalog, dll, harus ditangani oleh LSP dengan tindakan perbaikan seperti penundaan atau pencabutan sertifikasi, pengumuman pelanggaran dan, jika perlu tindakan hukum lainnya.

Kamis, 05 Mei 2011

Tugas M-3 (Model pengembangan standar profesi)

1. Standar profesi ACM da IEE
Standar Profesi ACM & IEEE
Rekayasa Perangkat Lunak Kode Etik dan Profesional Praktek (Versi 5.2) seperti yang direkomendasikan oleh ACM / IEEE-CS Joint Task Force on Software Engineering Etika dan Profesional Praktek dan bersama-sama disetujui oleh ACM dan IEEE-CS sebagai standar untuk mengajar dan berlatih perangkat lunak rekayasa.

Versi kode singkat merangkum aspirasi pada tingkat tinggi abstraksi tersebut; klausa yang disertakan dalam versi lengkap memberikan contoh-contoh dan rincian tentang bagaimana aspirasi ini mengubah cara kita bertindak sebagai profesional rekayasa perangkat lunak. Without the aspirations, the details can become legalistic and tedious; without the details, the aspirations can become high sounding but empty; together, the aspirations and the details form a cohesive code. Tanpa aspirasi, rincian bisa menjadi legalistik dan membosankan; tanpa rincian, aspirasi dapat menjadi tinggi terdengar tapi kosong; bersama-sama, aspirasi dan rincian bentuk kode kohesif.

Software engineers shall commit themselves to making the analysis, specification, design, development, testing and maintenance of software a beneficial and respected profession. insinyur Perangkat Lunak harus berkomitmen untuk membuat analisis, spesifikasi, desain, pengembangan, pengujian dan pemeliharaan perangkat lunak dan dihormati profesi menguntungkan. In accordance with their commitment to the health, safety and welfare of the public, software engineers shall adhere to the following Eight Principles: Sesuai dengan komitmen mereka untuk kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, insinyur perangkat lunak harus mematuhi Delapan Prinsip berikut:

1. 1. PUBLIC – Software engineers shall act consistently with the public interest. UMUM – Software insinyur harus bertindak secara konsisten dengan kepentingan publik.

2. 2. CLIENT AND EMPLOYER – Software engineers shall act in a manner that is in the best interests of their client and employer consistent with the public interest. KLIEN dan majikan – Software insinyur harus bertindak dengan cara yang adalah kepentingan terbaik klien mereka dan majikan yang konsisten dengan kepentingan publik.

3. 3. PRODUCT – Software engineers shall ensure that their products and related modifications meet the highest professional standards possible. PRODUK – Software insinyur harus memastikan bahwa produk dan modifikasi yang terkait dengan memenuhi standar profesional tertinggi mungkin.

4. 4. JUDGMENT – Software engineers shall maintain integrity and independence in their professional judgment. PENGHAKIMAN – Software insinyur harus mempertahankan integritas dan kemandirian dalam penilaian profesional mereka.

5. 5. MANAGEMENT – Software engineering managers and leaders shall subscribe to and promote an ethical approach to the management of software development and maintenance. MANAJEMEN – Rekayasa Perangkat Lunak manajer dan pemimpin harus berlangganan dan mempromosikan pendekatan etis kepada manajemen pengembangan perangkat lunak dan pemeliharaan.

6. 6. PROFESSION – Software engineers shall advance the integrity and reputation of the profession consistent with the public interest. PROFESI – Software insinyur harus memajukan integritas dan reputasi profesi yang konsisten dengan kepentingan publik.

7. 7. COLLEAGUES – Software engineers shall be fair to and supportive of their colleagues. Kolega – Software engineer harus bersikap adil dan mendukung rekan-rekan mereka.

8. 8. SELF – Software engineers shall participate in lifelong learning regarding the practice of their profession and shall promote an ethical approach to the practice of the profession. DIRI – Software insinyur harus berpartisipasi dalam belajar seumur hidup tentang praktek profesi mereka dan akan mempromosikan pendekatan etis untuk praktek profesi.

Software Engineering Code of Ethics and Professional Practice (Full Version) Rekayasa Perangkat Lunak Kode Etik dan Praktek Profesional (Full Version)




2. Standar Profesi di Indonesia Dan Regional

Berdasarkan perkembangan Teknologi Informasi secara umum, serta kebutuhan di Indonesia serta dalam upaya mempersiapkan diri untuk era perdagangan global. Beberapa usulan dituangkan dalam bab ini. Usulan-usulan tersebut disejajarkan dengan kegiatan SRIG-PS (SEARCC), dan IPKIN selaku perhimpunan masyarakat komputer dan informatika di Indonesia. Juga tak terlepas dari agenda pemerinta melalui Departemen terkait.

Gambar 1. Implementasi Standardisasi Profesi bidang TI di Indonesia

Langkah-langkah yang diusulan dengan tahapan-tahapan sebagai beriku :

Penyusunan kode etik profesiolan Teknologi Infomrasi
Penyusunan Klasifikasi Pekerjaan (Job) Teknologi Informasi di Indonesia
Penerapanan mekanisme sertifikasi untuk profesional TI
Penerapan sistem akreditasi untuk Pusat Pelatihan dalam upaya Pengembangan Profesi
Penerapan mekanisme re-sertifikasi

Promosi Standard Profesi Teknologi Informasi
Beberapa rencana kegiatan SRIG-PS pada masa mendatang dalam upaya memasyarakatkan model standardisasi profesi dalam dunia TI adalah :

Distribusi dari manual SRIG-PS di SEARCC”96 di Bangkok.pada bulan Juli 1996.
Promosi secara ekstensif oleh para anggota dari 1996-1997
Presentasi tiap negara yang telah benar-benar mengimplementasikan standard yang berdasarkan model SRIG-PS, pada SEARCC’97 di New Delhi. Ini merupakan penutupan phase 2 dari SRIG-PS.

Untuk memasyarakatkan stardisasi profesi dan sistem sertiikasi ini, maka harus dilakukan lebih banyak promosi dalam penyebaran standard kompetensi. Promosi akan dilakukan melalui radio, majalah, atau bahkan TV. Terlebih lagi, adalah penting untuk mempromosikan standard ini ke pada institusi pendidikan, teurtama Bagian Kurikulum, karena pendidikan Teknologi Informasi harus disesuaikan agar cocok dengan standard yang akan diterapkan dalam industri.

Rencana strategis dan operasional untuk mempromosikan implementasi dari rekomendasi SRIG-PS di negara-negara anggota SEARCC.


Gambar 2. Promosi model SRIG-PS
Promosi ini memiliki berbagai sasaran, pada tiap sasaran tujuan yang ingin dicapai adalah berbeda-beda.

Pemerintah, untuk memberi saran kepada pemerintah, dan pembuat kebijaksanaan dalam bidang TI dalam usaha pengembangan sumber daya manusia khususnya bidang TI.
Pemberi Kerja, untuk membangkitkan kesadaran di antara para pemberi kerja tetang nilai-nilai dari standard profesional dalam meningkatkan kualitas profesional TI.
Profesional TI, untuk mendorong agar profesional TI, dari negara anggota melihat nilai-nilai snatndar dalam profesi dak karir mereka.
Insitusi dan Penyusun kebijaksanaan Pendidikan, untuk memberi saran pada pembentukan kurikulum agar dapat memenuhi kebutuhan dan standard profesional di regional ini dalam Teknologi Informasi.
Masyarakat Umum, untuk menyadarkan umum bahwa Standard Profesional Regional adalah penting dalam menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas.

Untuk mempromosikan model standardisasi dalam dunia TI ini, SEARCC memiliki berbagai perencanaan kampanye antara lain :

Publikasi dari Standard Profesional Regional diterbitkan di seluruh negara anggota
Presentasi secara formal di tiap negara anggota.
Membantu implementasi standard di negara-negara anggota
Memonitor pelaksanaan standard melalui Himpunan/Ikatan nasional
Melakukan evaluasi dan pengujian
Melakukan perbaikan secara terus menerus
Penggunaan INTERNET untuk menyebarkan informasi mengenai standard ini.

Untuk mengimplementasi promosi di Phase 2, SRIG-PS memperoleh dana bantuan yang akan digunakan untuk :

Biaya publikasi : disain, percetakan dan distribusi
Presentasi formal di negara anggota
Membantu implementasi standar di negara anggota
Pertemuan untuk mengkonsolidasi, memonitor, dan bertukar pengalaman

Adalah penting untuk menyusun WEBpage mengenai Standardisasi Profesi pada Teknologi Informasi. WEBpage ini akan memberikan informasi mengenai model SRIG-PS dan model standard di Indonesia.

Pembentukan Standar Profesi Teknologi Informasi di Indonesia
Dalam memformulasikan standard untuk Indonesia, suatu workshop sebaiknya diselenggarakan oleh IPKIN. Partisipan workshop tersebut adalah orang-orang dari industri, pendidikan, dan pemerintah. Workshop ini diharapkan bisa memformulasikan deskripsi pekerjaan dari klasifikasi pekerjaan yang belum dicakup oleh model SRIG-PS, misalnya operator. Terlebih lagi, workshop tersebut akan menyesuaikan model SRIG-PS dengan kondisi Indonesia dan menghasilkan model standard untuk Indonesia. Klasifikasi pekerjaan dan deskripsi pekerjaan ini harus diperluas dan menjadi standard kompetensi untuk profesioanal dalam Teknologi Informasi

Persetujuan dan pengakuan dari pemerintah adalah hal penting dalam pengimplementasian standard di Indonesia. Dengan demikian, setelah standard kompetensi diformulasikan, standard tersebut dapat diajukan kepada kepada Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja. Selain itu standard tersebut juga sebaiknya harus diajukan kepada Menteri Pendidikan dengan tujuan membantu pembentukan kurikulum Pendidikan Teknologi Informasi di Indonesia dan untuk menciptakan pemahaman dalam pengembangan model sertifikasi.

Untuk melengkapi standardisasi, IPKIN sudah perlu menetapkan Kode Etik untuk Profesi Teknologi Informasi. Kode Etik IPKIN akan dikembangkan dengan mengacu pada Kode Etik SEARCC dan menambahkan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia.

Selanjutnya, mekanisme sertifikasi harus dikembangkan untuk mengimplementasikan standard kompetensi ini. Beberapa cara pendekatan dari negara lain harus dipertimbangkan. Dengan demikian, adalah penting untuk mengumpulkan mekanisme standard dari negara-negara lain sebelum mengembangkan mekanisme sertifikasi di Indonesia.


Gambar 3.Model Interaksi Sistem Sertifikasi Profesional TI

Sertifikasi sebaiknya dilaksanakan oleh IPKIN sebagai Asosiasi Komputer Indonesia. Pemerintah diharapkan akan mengakui sertifikat ini, dan memperkenalkan dan mendorong implementasinya di industri. Dalam mengimplementasikan mekanisme sertifikasi, beberapa badan perlu dibentuk

Badan Penguji harus dibentuk dan institusi pendidikan sebaiknya dilibatkan dalam mekanisme ini. Hal ini perlu karena institusi pendidikan memiliki pengalaman dalam memberikan ujian.
Panitia Persiapan Ujian, mempersiakan kebutuhan administrasi, pendaftaran, penjadwalan, pengumpulan maeri ujian.
Pelaksana Ujian, mempersiapkan tempat ujian dan melaksanakan ujian. Menyerahkan hasil ujian kepada Badan Penguji untuk diperiksa, mengolah hasil dan memberikan hasil kepada IPKIN
Pelaksana akreditasi training centre, untuk kebutuhan resertifikasi maka perlu dibentuk badan yang melakukan penilaian terhadap pelaksana pusat pelatihan, tetapi hal ini baru dilaksanakan setelah 5 tahun sistem sertifikasi berjalan,.
Pelaksana resertifikasi, hal ini mungkin baru dapat dilaksanakan setelah 5 tahun setelah sistem sertifikasi berjalan dengan baik

Kerja sama antara institusi terkait dikoordinasikan. IPKIN sebagai Asosiasi Profesi dapat memainkan peranan sebagai koordinator.

Dalam pembentukan mekanisme sertifikasi harus diperhatikan beberapa hal yang dapat dianggap sebagai kriteria utama:

Sistem sertifikasi sebaiknya kompatibel dengan pembagian pekerjaan yang diakui secara regional.
Memiliki berbagai instrument penilaian, misal test, studi kasus, presentasi panel, dan lain-lain.
Harus memiliki mekanisme untuk menilai dan memvalidasi pengalaman kerja dari para peserta, karena kompetensi profesional juga bergantung dari pengalaman kerja pada bidang tersebut.
Harus diakui pada negara asal.
Harus memiliki silabus dan materi pelatihan, yang menyediakan sarana untuk mempersiapkan diri untuk melakukan ujian sertifikasi tersebut.
Sebaiknya memungkinkan untuk dilakukan re-sertifikasi

Sebagai kriteria tambahan adalah :

Terintegrasi dengan Program Pengembangan Profesional
Dapat dilakukan pada region tersebut.

Dalam hal sertifikasi ini SEARCC memiliki peranan dalam hal :

Menyusun panduan
Memonitor/dan bertukar pengalaman
Mengakreditasi sistem sertifikasi, agar mudah diakui oleh negara lain anggota SEARCC
Mengimplementasi sistem yang terakreditasi tersebut

Referensi : http://openstorage.gunadarma.ac.id/~mwiryana/IPKIN/SRIG-PS/st_page6.html

Referensi : http://kelompoktighaka5c.blogspot.com/2009/10/standard-profesi-teknologi-informasi.html




3. Standar Profesi di USA dan Kanada
Kode Etik Profesional
Pejabat Keuangan Pemerintah Asosiasi dari Amerika Serikat dan Kanada adalah organisasi profesional pejabat publik bersatu untuk meningkatkan dan mempromosikan manajemen profesional sumber daya keuangan pemerintah dengan mengidentifikasi, mengembangkan dan memajukan strategi fiskal, kebijakan, dan praktek untuk kepentingan publik.

Untuk lebih tujuan tersebut, aparat pemerintah membiayai semua diperintahkan untuk mematuhi standar hukum, moral, dan profesional perilaku dalam pemenuhan tanggung jawab profesional mereka. Standar perilaku profesional sebagaimana diatur dalam kode ini diwujudkan dalam rangka meningkatkan kinerja semua orang yang terlibat dalam keuangan publik.

1. Pribadi Standar

petugas pembiayaan Pemerintah harus menunjukkan dan didedikasikan untuk cita-cita tertinggi kehormatan dan integritas dalam semua hubungan masyarakat dan pribadi untuk mendapat rasa hormat, kepercayaan, dan keyakinan yang mengatur pejabat, pejabat publik lainnya, karyawan, dan masyarakat.
• Mereka harus mencurahkan waktu, keterampilan, dan energi ke kantor mereka baik secara independen dan bekerja sama dengan profesional lainnya.
• Mereka harus mematuhi praktek profesional disetujui dan standar yang dianjurkan.

2. Tanggung jawab sebagai Pejabat Publik

petugas pembiayaan Pemerintah harus mengakui dan bertanggung jawab atas tanggung jawab mereka sebagai pejabat di sektor publik.
• Mereka harus sensitif dan responsif terhadap hak-hak publik dan kebutuhan-kebutuhannya berubah.
• Mereka harus berusaha untuk memberikan kualitas kinerja tertinggi dan nasihat.
• Mereka akan bersikap bijaksana dan integritas dalam pengelolaan dana dalam tahanan mereka dan dalam semua transaksi keuangan.
• Mereka harus menjunjung tinggi baik surat dan semangat undang-undang, konstitusi, dan peraturan yang mengatur tindakan mereka dan melaporkan pelanggaran hukum kepada pihak yang berwenang.

3. Pengembangan Profesional

petugas pembiayaan Pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga kompetensi mereka sendiri, untuk meningkatkan kompetensi kolega mereka, dan untuk memberikan dorongan untuk mereka yang ingin memasuki bidang keuangan pemerintah. petugas Keuangan harus meningkatkan keunggulan dalam pelayanan publik.

4. Integritas Profesional – Informasi

petugas pembiayaan Pemerintah harus menunjukkan integritas profesional dalam penerbitan dan pengelolaan informasi.
• Mereka tidak akan sadar tanda, berlangganan, atau mengizinkan penerbitan pernyataan atau laporan yang berisi salah saji atau yang menghilangkan fakta material apapun.
• Mereka harus menyiapkan dan menyajikan laporan dan informasi keuangan sesuai dengan hukum yang berlaku dan praktek yang berlaku umum dan pedoman.
• Mereka harus menghormati dan melindungi informasi rahasia yang mereka memiliki akses berdasarkan kantor mereka.
• Mereka harus sensitif dan responsif terhadap pertanyaan dari masyarakat dan media, dalam kerangka kebijakan pemerintah negara bagian atau lokal.

5. Integritas Profesional – Hubungan

petugas pembiayaan Pemerintah harus bertindak dengan kehormatan, integritas, dan kebajikan dalam semua hubungan profesional.
• Mereka harus menunjukkan kesetiaan dan kepercayaan dalam urusan dan kepentingan pemerintah yang mereka layani, dalam batas-batas Kode Etik ini.
• Mereka tidak akan sadar menjadi pihak atau membiarkan aktivitas ilegal atau tidak layak.
• Mereka harus menghormati hak, tanggung jawab, dan integritas dari rekan-rekan mereka dan pejabat publik lainnya dengan siapa mereka bekerja dan asosiasi.
• Mereka harus mengatur semua hal personil dalam lingkup kewenangan mereka sehingga keadilan dan ketidakberpihakan mengatur keputusan mereka.
• Mereka akan mempromosikan kesempatan kerja yang sama, dan dengan berbuat demikian, menentang diskriminasi, pelecehan, atau praktik yang tidak adil lainnya.

6. Konflik Kepentingan
petugas pembiayaan Pemerintah harus secara aktif menghindari munculnya atau kenyataan benturan kepentingan.
• Mereka harus melaksanakan tugas mereka tanpa bantuan dan harus menahan diri dari terlibat dalam hal-hal di luar kepentingan keuangan atau pribadi yang tidak sesuai dengan kinerja tidak memihak dan tujuan tugas mereka.
• Mereka tidak akan, secara langsung atau tidak langsung, mencari atau menerima keuntungan pribadi yang akan mempengaruhi, atau tampaknya mempengaruhi, pelaksanaan tugas resmi mereka.
• Mereka tidak akan menggunakan milik umum atau sumber daya untuk keuntungan pribadi atau politik.




4.Standar Profesi di Eropa (Inggris, Jerman, Perancis)

contoh yang akan di bahas untuk standar profesi di Eropa adalah satndar profesi di bidang kedokteran.
Etika adalah setua peradaban itu sendiri. Arti populer etika adalah bahwa hal itu adalah kode perilaku dianggap benar, terutama untuk kelompok tertentu, profesi atau individu. Etika yang terutama berkaitan dengan bagaimana orang harus bertindak. Banyak prinsip-prinsip etis didasarkan pada kombinasi sensitivitas, kesopanan dan ‘kuda-akal’.

WFOT Kode Etik ini dirancang untuk memberikan panduan luas bagi praktek terapi okupasi. Standar COTEC Praktek ini dimaksudkan untuk menyempurnakan etika yang spesifik dan rinci prinsip-prinsip lebih. Standar Praktek dan Kode Etik untuk profesi kami itu sangat erat terkait. Kedua Kode Etik dan Standar Praktek adalah metode yang ditetapkan atau perangkat peraturan yang berhubungan dengan bersikap dll, suatu situasi tertentu (Chambers 20th Century Dictionary 1983). Tujuan ini adalah untuk memberikan pernyataan publik prinsip yang ditetapkan untuk terapis okupasi dan siswa oleh badan profesional. Mereka menyediakan seperangkat pedoman yang spesifik untuk praktek yang membantu terapis okupasi membuat keputusan etis, dengan memperhatikan hak-hak klien. Pedoman saja tidak dapat diambil sebagai absolut, – mereka permintaan dari terapis okupasi kombinasi standar etika, nilai-nilai moral dan perilaku profesional.

Standar Praktek dikembangkan oleh COTEC adalah kode sukarela yang dirancang untuk membantu Asosiasi Nasional untuk membangun dan mengembangkan kode nasional sesuai dengan standar Eropa praktek untuk terapis okupasi. Hal ini dimaksudkan untuk penerapan umum namun dapat dimodifikasi untuk daerah spesialis misalnya pediatri praktek, kepedulian masyarakat, dll psikiatri Jika ada kelompok seperti ingin melakukan ini, setiap dealth masalah dengan dalam Standar Praktek, harus diberikan dan bijaksana pertimbangan informasi karena mereka telah disertakan untuk relevansi mereka untuk satu atau kegiatan lain dari praktek profesional kami. Sangat penting bahwa isu-isu yang termasuk dalam Standar Praktek harus saat ini dan relevan dengan anggota profesi yang menggunakan atau untuk yang menggunakannya dimaksudkan.
Standar COTEC Praktek adalah pernyataan kebijakan yang membantu untuk mengatur dan menjaga standar praktek profesional yang baik. Dalam kasus dimana keputusan harus dibuat mengenai perilaku tidak profesional dari seorang ahli terapi kerja, Kode dapat digunakan sebagai panduan untuk standar perilaku profesional yang tepat.

Kita semua sekarang akrab dengan Instruksi Tinggi tentang Sistem Umum untuk pengakuan ijazah pendidikan tinggi (89/48/EEC). Pasal 6.1 dari Petunjuk ini menyatakan bahwa pejabat yang berwenang dari Negara Anggota host memerlukan seseorang mengambil profesi diatur untuk “melarang mengejar profesi bahwa dalam hal terjadi pelanggaran profesional yang serius”. Kelompok profesional ini memberikan kita alasan yang sangat baik untuk menetapkan standar untuk praktik profesional kami.

Wakil untuk COTEC diminta untuk memastikan bahwa, ketika kode sedang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa lainnya, hal itu dilakukan sehingga oleh penutur asli. Hal ini dianjurkan karena memiliki frase dan istilah yang kadang-kadang sulit diterjemahkan.
Ada dua bagian utama dalam dokumen ini: -
- Kode Etik Federasi Dunia Kerja Therapist
- Standar Praktek dirancang oleh COTEC pada tahun 1991 dan sekarang diperbaharui pada tahun 1996.
Disusun bersama dengan perwakilan dari Asosiasi Nasional oleh Kode Etik dan Standar Praktek Komite Dokumen Maria McGuinn (Ketua & Sekretaris) Judith Marti dan Dirk de Vylder.
Kode Etik
Kode Etik Federasi Dunia Kerja Therapist menggambarkan perilaku yang tepat terapis okupasi berlatih di semua bidang terapi pekerjaan. Karena semua Asosiasi Nasional Terapi Pekerjaan di Eropa adalah anggota atau anggota Associate WFOT maka dipandang tepat yang harus COTEC basis Standar Praktek pada kode ini.
Pribadi atribut
Pekerjaan terapis memiliki integritas pribadi, kehandalan, pikiran yang terbuka dan loyalitas berkaitan dengan konsumen dan bidang profesional keseluruhan.
Tanggung jawab terhadap penerima Occupational Layanan Terapi
Pekerjaan terapis pendekatan semua konsumen dengan hormat dan dengan memperhatikan untuk situasi masing-masing. Pekerjaan terapis akan tidak diskriminasi terhadap konsumen berdasarkan ras, warna kulit, cacat, cacat, asal-usul kebangsaan, umur, jenis kelamin, preferensi seksual, agama, keyakinan politik atau status dalam masyarakat. pribadi preferensi konsumen dan kemampuan untuk berpartisipasi akan diperhitungkan dalam perencanaan penyediaan layanan. Kerahasiaan informasi pribadi’s konsumen dijamin dan setiap rincian pribadi disampaikan hanya dengan persetujuan mereka.
Perilaku dalam tim Terapi Pekerjaan dan dalam tim multidisiplin
Pekerjaan terapis bekerja sama dan menerima tanggung jawab dalam satu tim dengan mendukung tujuan medis dan psikososial yang telah ditetapkan. terapis Kerja menyediakan laporan tentang kemajuan intervensi mereka dan memberikan anggota lain dari tim dengan informasi yang relevan.


Mengembangkan pengetahuan profesional
Pekerjaan terapis berpartisipasi dalam pengembangan profesional melalui belajar sepanjang hidup dan selanjutnya menerapkan diperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam kerja profesional mereka.
Promosi profesi
Pekerjaan terapis berkomitmen untuk perbaikan dan pengembangan profesi pada umumnya. Mereka juga prihatin dengan mempromosikan terapi okupasi yang lain masyarakat organisasi profesional, dan mengatur badan-badan di, nasional dan internasional tingkat regional.
World Federation of Occupational Therapist: Komite Praktek Profesional; Maret 1990.


Standar Praktek
Konsumen
Untuk tujuan Standar COTEC Praktek konsumen istilah digunakan untuk menjelaskan pasien, klien dan / atau wali. Hal ini juga termasuk mereka yang terapis kerja bertanggung jawab.
1. Tanggung jawab terhadap penerima pelayanan terapi okupasi
Arahan
1.1. Konsumen harus dirujuk ke terapis kerja oleh dokter atau lembaga lain, seperti yang dipersyaratkan oleh hukum atau kebiasaan negara.
1.2. Terapis harus menerima arahan kerja dianggap sesuai dan untuk itu mereka memiliki sumber daya terapeutik.
1.3. Arahan menunggu penerimaan harus ditempatkan pada daftar tunggu atau dirujuk di tempat lain. Para konsumen dan pengarah harus diberitahu tentang tindakan yang diambil.
1.4. Terapis kerja harus memberikan pertimbangan terhadap kebutuhan untuk merujuk konsumen di tempat lain. Terapis harus kerja, menginformasikan konsumen pelayanan yang sesuai atau fasilitas.
Penilaian
1.5. Terapis kerja harus bertanggung jawab untuk menilai konsumen yang telah diterima untuk pengobatan. Setiap episode pengobatan harus direncanakan, dilaksanakan dan diselesaikan dengan keterlibatan konsumen.
1.6. Terapis kerja harus sering mengevaluasi dan meninjau perawatan dan memodifikasi program dalam respon terhadap penilaian ulang.
Pengobatan
1.7. Para terapis okupasi harus mempertahankan integritas profesional dan kebijaksanaan sepanjang proses intervensi.
1,8. Para terapis kerja harus memastikan bahwa intervensi mereka berpusat konsumen.
1.9. Terapis kerja harus memastikan bahwa diskriminasi terhadap konsumen tidak terjadi atas dasar ras, warna kulit, cacat, cacat, asal kebangsaan, usia, jenis kelamin, preferensi seksual, agama, keyakinan politik atau status dalam masyarakat atau alasan lain.
1.10. Terapis pekerjaan harus, dengan informed consent dari konsumen, berusaha untuk menetapkan tujuan yang realistis bagi intervensi berdasarkan kerjasama terapeutik. konsumen harus diberitahu tentang sifat dan potensi hasil pengobatan.
Sebuah Program Kualitas
1.11. Ketika mengembangkan program jaminan kualitas yang efektif terapis kerja harus mempertimbangkan lima komponen penjaminan mutu, yaitu perilaku profesional, efektivitas, penggunaan sumber daya, manajemen risiko, kepuasan konsumen dengan layanan yang diberikan.
1,12. Terapis kerja harus memelihara-diarahkan dan tujuan hubungan tujuan dengan semua konsumen dilayani.
Pelepasan
1.13. Terapis kerja harus menghentikan layanan ketika konsumen telah mencapai tujuan atau bila keuntungan maksimum yang telah diperoleh dari jasa terapi okupasi.
1.14. Alasan untuk menghentikan pengobatan harus dijelaskan dengan jelas kepada konsumen.
1,15. Terapis pekerjaan harus membuat pengaturan untuk penilaian ulang-up atau tindak lanjut dari konsumen dan dokumen ini.


2. Records dan Laporan
2.1. Dalam kaitan dengan pelaporan dan pencatatan informasi yang berkaitan dengan konsumen dan akses ke konsumen mencatat, ketentuan Kesehatan dan Kisah lain dan / atau pedoman dari otoritas mempekerjakan harus diamati.
2.2. Data Protection Act membebankan kewajiban tertentu pada terapis kerja ketika menjaga informasi pribadi pada komputer tentang klien dan menganugerahkan hak kepada orang-orang pada siapa informasi tersebut disimpan.
2.3. Setiap saat terapis okupasi harus melindungi dan menghormati bahan rahasia dan memastikan bahwa itu hanya diungkapkan mana yang sesuai untuk kepentingan konsumen.
2.4. Persetujuan dari konsumen biasanya harus dicari sebelum – informasi tentang mereka diungkapkan di luar konteks terapi dan dalam hal paksaan hukum.
2.5. Laporan dan catatan harus disimpan dengan aman sesuai dengan hukum negara. Mereka harus menyediakan data faktual, merekam informasi yang berkaitan dengan kegiatan profesional dan tanpa bias emosional. Mereka harus memberikan informasi bagi rekan-rekan profesional dan untuk tujuan hukum.
2.6. Rekaman harus disimpan untuk memfasilitasi kajian dan analisis prosedur dan untuk mengukur efektivitas pengobatan. Terapis kerja harus mendokumentasikan konsumen kemampuan dan hasil pengobatan. Laporan harus dibuat.
2.7. Layanan terapi okupasi harus mempersiapkan pernyataan tujuan yang komputer informasi tentang konsumen disimpan. Informasi seharusnya hanya digunakan sebagai diuraikan dalam laporan tujuan.
2.8. Dalam layanan terapi okupasi semua komputer yang diselenggarakan informasi harus disimpan aman. Hanya staf yang berwenang harus memiliki akses untuk itu dan semua kertas limbah dan hasil cetak harus dibuang dengan hati-hati.
2.9. Informasi Prosedur dalam pelayanan terapi okupasi harus di tempat untuk memastikan bahwa informasi yang akurat dan up-to-date.


3. Keselamatan
3.1. Terapis pekerjaan tidak boleh menyebabkan atau melakukan apa saja untuk membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen.
3.2. Adalah penting bahwa peralatan yang tepat digunakan oleh terapis pekerjaan dalam perawatan.
3.3. Terapis kerja harus mengambil semua tindakan pencegahan yang wajar dan harus memakai pakaian yang sesuai dan alas kaki.
3.4. Terapis kerja harus mengenal dan mengamati ketentuan dalam Kesehatan dan Keselamatan Kis.
3.5. perilaku yang berlebihan yang menyebabkan penderitaan kepada konsumen harus dilaporkan kepada agen sesuai.


4. Pengusaha
4.1. Dimana pengusaha memiliki standar perilaku yang berbeda dibandingkan dengan kode ini terapis kerja harus jelas tentang ini dan implikasinya. (Namun lebih disukai bahwa semua tempat kerja mengakui Kode.
4.2. Terapis kerja harus memenuhi pedoman yang ditetapkan oleh pemberi kerja sejauh ini kompatibel dengan etika profesional.


5. Promosi Profesi yang
5.1. Pekerjaan terapis harus menawarkan dan / atau menyediakan layanan hanya dalam kompetensi mereka. Pekerjaan terapis harus mengakui keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk layanan yang kompeten.
5.2. Pekerjaan terapis harus bertanggung jawab pribadi untuk kompetensi mereka. Dalam situasi dimana tambahan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan, mereka harus: – lihat konsumen untuk terapis lain dan berkonsultasi dengan rekan-rekan.
5.3. Terapis kerja harus selalu up to date dengan pengetahuan yang berkaitan dengan undang-undang, politik, sosial dan masalah-masalah budaya yang mempengaruhi profesi.


6. Hubungan Profesional
6.1. Kebutuhan dan / atau tanggung jawab rekan harus dihormati oleh terapis kerja.
.2. Terapis kerja harus berkonsultasi, bekerjasama dan berkolaborasi dengan rekan profesional mengenai tugas profesional.
6.3. Kerja terapis harus memahami lingkup praktek staf pendukung dalam pelayanan terapi okupasi.
6.4. Terapis kerja harus setia kepada terapis okupasi sesama tetapi, apabila diperlukan, laporan dan / atau perilaku tidak profesional banding.
6.5. Dalam kasus pelanggaran Kode Etik sebuah laporan rahasia yang harus dilakukan kepada Badan Professional atau orang yang tepat dalam pengelolaan pelayanan.
6.6. Non-warga negara harus menghormati kebiasaan dan budaya dari negara tuan rumah.


7. Penelitian dan Pengembangan
7.1. Terapis kerja harus memberikan kredit untuk materi yang dipublikasikan saat digunakan.
7.2. Terapis kerja harus melindungi privasi konsumen dalam bahan tertulis atau visual yang dapat digunakan di luar konteks terapi.
7.3. Terapis kerja harus menghormati etika implikasi yang terlibat ketika melakukan penelitian.
7.4. Peneliti harus memperhatikan ketentuan Kesehatan Kisah dan / atau peraturan otoritas mempekerjakan.
7.5. Pekerjaan terapis harus mendasarkan praktek profesional mereka pada penelitian ditetapkan.
7.6. Terapis kerja memiliki kewajiban untuk memperbarui dan meninjau pengetahuan profesional secara teratur dan sadar akan masalah-masalah hukum saat ini yang mempengaruhi praktek mereka.


8. Mewakili Profesi yang
8.1. profesi harus akurat diwakili kepada konsumen, rekan profesional, mahasiswa dan masyarakat.
8.2. Terapis kerja harus berusaha untuk membangun dan mengembangkan kualitas profesinya.
8.3. Terapis kerja harus berkomitmen terhadap pendidikan masyarakat, konsumen, serta pendidikan tenaga kesehatan mengenai masalah-masalah kesehatan yang berada dalam lingkup kerja terapis.
8.4. Terapis kerja harus menghindari perilaku yang berlebihan yang negatif mempengaruhi kinerja sebagai terapis kerja atau mencerminkan pada profesi. Ini mungkin termasuk penyalahgunaan zat atau melanggar hukum atau kegiatan kriminal dalam perjalanan praktek profesi.

9. Komersial
9.1. Terapis pekerjaan dapat mengiklankan sesuai dengan praktek perawatan kesehatan diterima.
9.2. Terapis okupasi dalam mempromosikan layanan swasta dapat melakukannya sesuai dengan praktek perawatan kesehatan.
9.3. Terapis kerja di praktek swasta harus menetapkan biaya berdasarkan analisis biaya yang berhubungan dengan jasa yang diberikan.
9.4. Terapis kerja harus menggunakan pertimbangan profesional ketika menyediakan dan / atau merekomendasikan produk komersial atau peralatan teknis.
9.5. Pekerjaan terapis tidak harus meminta atau menerima komisi dari setiap perusahaan komersial sebagai hadiah / pembayaran untuk merekomendasikan produk dari perusahaan yang kepada konsumen.


10. Terapi Pekerjaan Pendidikan
10.1. Pendidik terapis okupasi harus memastikan bahwa Pendidikan Minimum Standar Federasi Dunia Kerja Therapist terpenuhi.
10.2. Pendidik harus memastikan bahwa siswa mendapatkan standar yang dapat diterima kompetensi profesional.
10.3. standar pendidikan harus divalidasi oleh National Association. 1
10.4. Kode Etik dan Standar Praktek harus dipromosikan dalam pendidikan terapis okupasi.


Sumber:

http://openstorage.gunadarma.ac.id/~mwiryana/IPKIN/SRIG-PS/st_page6.html

http://www.gfoa.org/index.php?option=com_content&task=view&id=98&Itemid=108

http://www.cotec-europe.org/eng/35/

Selasa, 15 Maret 2011

UU No. 36 tentang Telekomunikasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999

TENTANG

TELEKOMUNIKASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

1. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945;
2. bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa;
3. bahwa pengaruh globalisasi, dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi;
4. bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut, perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali mengenai penyelenggaraan telekomunikasi nasional;
5. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka Undang-Undang No. 3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi, sehingga perlu diganti;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya;
2. Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
3. Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
4. Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5. Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
6. Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
7. Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi ;
8. Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
9. Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
10. Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
11. Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12. Penyelenggara telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
13. Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
14. Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
15. Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
16. Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
17. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas tanggungjawabnya di bidang telekomunikasi.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
BAB III
PEMBINAAN
Pasal 4

1. Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
2. Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
3. Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global.

Pasal 5

1. Dalam rangka pelaksanaan pembinaan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
3. Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
4. Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi, serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
5. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6

Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
BAB IV
PENYELENGGARAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 7

1. Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :

a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;

b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;

c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

(2) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;

b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;

c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;

d. peran serta masyarakat.

Bagian Kedua

Penyelenggara

Pasal 8

(1) Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :

a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);

c. badan usaha swasta; atau

d. koperasi;

(2) Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :

a. perseorangan;

b. instansi pemerintah ;

c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;

(3) Ketentuan mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.

(2) Penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.

(3) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk :

a. keperluan sendiri;

b. keperluan pertahanan keamanan negara;

c. keperluan penyiaran.

(4) Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, terdiri dari penyelenggaraan telekomunikasi untuk keperluan :

a. perseorangan;

b. instansi pemerintah;

c. dinas khusus;

d. badan hukum.

(5) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Larangan Praktek Monopoli

Pasal 10

(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara penyelenggara telekomunikasi.

(2)Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Keempat
Perizinan

Pasal 11

(1)Penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :

a. tata cara yang sederhana;

b. proses yang transparan, adil dan tidak diskriminatif; serta

c. penyelesaian dalam waktu singkat.

(3) Ketentuan mengenai perizinan penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima

Hak dan Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat

Pasal 12

(1) Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.

(2) Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar.

(3)Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan dari instansi pemerintah yang bertanggungjawab dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 13

Penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.

Pasal 14

Setiap pengguna telekomunikasi mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

(1) Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomuniksi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.

(2)Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.

(3)Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.

(2) Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimakasud pada ayat (1) berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi lain.

(3) Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip :

a. perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;

b. peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan

c. pemenuhan standar pelayanan serta standar penyediaan sarana dan prasarana.

Pasal 18

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.

(2) Apabila pengguna memerlukan catatan pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib memberikannya.

(3) Ketentuan mengenai pencatatan pemakaian jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.

Pasal 20

Setiap penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting menyangkut :

a. keamanan negara;

b. keselamatan jiwa manusia dan harta benda;

c. bencana alam;

d. marabahaya; dan atau

e. wabah penyakit.

Pasal 21

Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikai yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, kemanan dan ketertiban umum.

Pasal 22

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi :

a. akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau

b. akses ke jasa telekomunikasi; dan atau

c. akses ke jaringan telekomunikasi khusus.

Bagian Keenam

Penomoran

Pasal 23

(1) Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan jasa telekomunikasi ditetapkan dan digunakan sistem penomoran.

(2) Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24

Permintaan penomoran oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi diberikan berdasar sistem penomoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

Bagian Ketujuh

Interkoneksi dan Biaya Hak Penyelenggaraan

Pasal 25

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

(2) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.

(3) Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan prinsip :

a. pemanfaatan sumber daya secara efisien;

b. keserasian sistem dan perangkat telekomunikasi;

c. peningkatan mutu pelayanan; dan

d. persaingan sehat yang tidak saling merugikan.

(4) Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan.

(2) Ketentuan mengenai biaya penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan

Tarif

Pasal 27

Susunan tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau tarif penyelenggara jasa telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 28

Besaran tarif penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Bagian Kesembilan

Telekomunikasi Khusus

Pasal 29

(1) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a dan huruf b, dilarang disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya.

(2) Penyelenggaraan telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c, dapat disambungkan ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan untuk keperluan penyiaran
Pasal 30

(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b setelah mendapat izin Menteri.

(2) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.

(3) Syarat-syarat untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31

(1) Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi,
Spektrum Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit

Pasal 32

(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 33

(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapatkan izin Pemerintah.

(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu.

(3) Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.

(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34

(1) Pengguna spektrum frekuensi radio wajib membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi.

(2) Pengguna orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.

(3) Ketentuan mengenai biaya sebagaiama dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan di wilayah perairan Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh kapal berbendera asing yang berada di wilayah perairan Indonesia diluar peruntukannya, kecuali ;

a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keamanan lalu lintas pelayaran; atau

b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi; atau

c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak pelayaran.

(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 36

(1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.

(2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah Indonesia diluar peruntukannya, kecuali ;

a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi dan keselamatan lalu lintas penerbangan ; atau

b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara telekomunikasi ; atau

c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas bergerak penerbangan.

(3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 37

Pemberian izin penggunaan perangkat telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.

Bagian Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi

Pasal 38

Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.

Pasal 39

(1) Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk penyelenggaraan telekomunikasi.

(2) Ketentuan pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.

Pasal 41

Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 42

(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya.

(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :

a. permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai tata cara dan permintaan dan pemberian rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

Pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40.

BAB V
PENYIDIKAN

Pasal 44

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.

(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

b. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang telekomuniksi.

c. menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;

d. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;

e. melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

f. menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

g. menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;

h. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan

i. mengadakan penghentian penyidikan.

(3) Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana.

BAB VI

SANKSI ADMINISTRASI

Pasal 45

Barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2),Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.

Pasal 46

(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.

(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 47

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 48

Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 49

Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 50

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 51

Penyelenggara telekomunikasi khusus yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29 ayat (2) , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

Pasal 52

Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit, memasukkan, atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 53

(1) Brang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 54

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 55

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 56

Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 57

Penyelenggara jasa telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 58

Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 52, atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 59

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 60

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Penyelenggara Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang ini.

Pasal 61

(1)Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1989 masih tetap berlaku.

(2)Jangka waktu hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Badan Penyelenggara.

Pasal 62

Pada saat Undang-undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-undang No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi (lembaran Negara Tahun 1989 No. 11, Tambahan Lembaran Negara No. 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63

Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 64

Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 8 September 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 8 September 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIAT NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 154.

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan

Perundang-undangan I,

Lambock V. Nahattands

Penjelasan | Regulasi Lain


referensi : http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/uu_telekomunikasi.htm